Tentang Menikah

Dulu saat aku berusia 18 tahun ada keinginan untuk menikah muda. Dalam bayanganku menikah itu indah, bisa melakukan hal apapun bersama-sama. Bisa sholat Sunnah jemaah, mengaji berdua, bisa ngerasain juga malam mingguan (haha, maklum gapernah seumur hidup), bahkan masak masakan kesukaan doi.  Sempat berfikir ingin menikah sambil kuliah, kayaknya seru ada temen ngerjain tugas, nyusun skripsi. Trus saat sidang ada sosok halal yang datang kekampus ngucapin selamat terus mendampingi wisuda bersama orangtua. Kalau sekilas terasa indah ya menikah muda. 
Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dewasa oleh permasalahan orang-orang dewasa. Aku jadi tempat curhat perempuan2 yang telah menikah, yang sedang ta'aruf, bahkan yang masih mencari pasangan trus ada juga yang pacaran. Ternyata segala keindahan di ekspektasi ku 
dalam pernikahan impian seketika buyar. Ternyata nggak semudah itu untuk mepertahankan hubungan dan menjaga komitmen. Menikah tidak sebatas uwu-uwuan yang saling suka, saling sayang, saling mengungkapkan perasaan cinta. Ternyata lama-lama rasa cinta itu akan memudar jika tidak ditanam dan dipupuk dengan cahaya iman. 
Banyak orang yang menikah hanya mempertaruhkan hawa nafsu. Sehingga saat menjalani rumah tangga itu, banyak kekecewaan didalamnya. Dikarenakan realita tidak sesuai dengan ekspektasi. Menikah tidak seindah video-video yang di share selebgram atau artis-artis di sosial media. 
Banyak terjadi kasus kawin cerai. Kalau di logika manusia, kenapa terjadi ya? Padahal suaminya tampan, istrinya cantik. Padahal kaya loh. Yah, itulah yang terjadi jika saat menikah mengedepankan nafsu. Melihat pasangan hanya dari tampilan fisik, kekayaan, atau bahkan keturunan. Memang itu perlu, karena Rasulullah sendiri yang menyampaikan. Namun sebagai manusia yang memiliki iman, tentunya memiliki prioritas untuk kriteria pasangan. Karena menikah bukan ibadah yang sehari atau dua hari tapi seumur hidup. 
Makanya perlu pertimbangan matang, istikhoroh didalam memilih pasangan yang tepat dan terbaik. Bukan asal ada yang mau langsung gass aja menikah. Akhirnya setelah dijalani kecewa dan menyesal seumur hidup.
Oke baik lah. Sebagai orang yang masih belum berpengalaman di bidang ini, rasanya saya terkesan sok tau. Tapi dari apa yang saya pelajari dari beberapa orang yang curhat ke saya terkait pernikahan, akhirnya saya memilih untuk tidak lagi bermimpi menikah muda, tidak tergesa-gesa dalan memutuskan dengan siapa dan kapan saya akan menikah. 
Bukan berarti saya menilai buruk pada tiap pernikahan, tapi saya belajar yang namanya menikah itu menyatukan dua hati yang mustahil akan selalu sejalan. Pasti ada berbeda pendapatnya, pasti akan ada permasalahan bertubi-tubi yang akan menimpa. Istri akan menjadi ujian bagi suaminya pun sebaliknya. 
Hati manusia yang berbolak-balik. Itulah kenapa kalau menikah tidak berlandaskan iman, saat terjadi goncangan akan mudah untuk menemukan pelarian. Sedangkan jika menikah dengan iman maka seberat apapun ujian-ujian yang akan datang menghadang selalu ada jalan dalam penyelesaian. Intinya dalam pernikahan harus bisa meredam amarah, emosi dan ego masing-masing. Kembalikan semuanya sama Allah, biar Allah yang menyelesaikan dengan cara-Nya. Nah sejujurnya bagian ini yang paling sulit untuk di praktekkan. Bahkan untuk individu-individu yang digelari 'alim sekalipun juga tidak akan mudah bagi mereka saat berada di fase itu. 
Aku terlalu banyak mendengarkan curhat orang lain sehingga permasalahan merek a menjadi suatu ketakutan untukku mulai mengatakan "ya aku berani menikah". Bahkan untuk meminta kepada Allah agar aku bisa segera menikah aku masih ragu. Ada banyak trauma orang lain yang harus aku sembuhkan ke diri aku sendiri. Ditambah lagi sampai detik ini aku belum menemukan orang yang tepat yang akan sama-sama berjuang menerima kekurangan dan kelebihan ku begitupun sebaliknya. Aku nggak tau kapan akan siap menjalani ibadah panjang itu, apa nanti aku bisa menjadi istri yang sabar, yang memaafkan dan lapang dada jika nanti tak sepaham dengan suami ku. Atau apa aku bisa menjadi ibu terbaik untuk anak-anakku. Apa aku bisa menjadi istri berbakti dan anak berbakti untuk orangtua dan mertuaku. 
Ahh tulisan ini mulai tak terarah. Sepertinya harus ku sudahi sampai disini dulu, jika ini menarik, lain waktu akan ku sambung. Ehehe 












































Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tutorial Menggabungkan File SHP Menggunakan ArcGis

Cara memotong Shp di ArcGis anti stress

Cara memotong Shp Line (Jalan) sesuai batas Administrasi di ArcGis menggunakan Tool Clip