Secangkir Teh Hangat dengan Sedikit Gula
Aku menulis ini pada jam 8.00 WIB di
kamar mungil kosanku yang sederhana. Menulis tentang teh hangat dengan sedikit gula artinya Aku
akan bercerita tentang cinta pertamaku. Cinta yang mengenalkanku pada keindahan
dunia, rasa cinta dan kasih sayang. Cinta pertama yang tak pernah mengecewakan
dan mengkhianati. Cinta yang rela berkorban apapun untukku asalkan aku bahagia.
Cinta yang menghangatkan dikala dingin, yang mendinginkan dikala panas bahkan
yang membalut lembut dikala luka. Cintanya bagaikan aroma teh, peluknya
menghangatkan, kelembutannya bahkan lebih manis dari butiran gula. Ahh, aku tak
tak pandai merangkaikan bait puitis betapa aku menyayanginya.Apa kalian sudah menebak siapa
seseorang yang membuatku jatuh cinta berkali-kali itu? Iya, dia Ayahku. Laki-laki
pertama yang cintanya tulus dan abadi. Laki-laki pertama yang akan menuntunku
ke syurga. Laki-laki pertama yang menangis terharu kala aku dilahirkan kedunia
ini dan laki-laki pertama yang akan menangis melepasku kelak saat aku telah
menemukan pendampingku.
Seperti yang aku ceritakan pada tulisan pertamaku. Aku terlahir dari seorang ayah ustad, imam dan garin di masjid, sekarang musholla. Ayahku berbeda dengan ayah-ayah yang lain. Sejak kecil aku terbiasa mengambil keputusan sendiri dan menjadi anak yang kritis. Sampai aku pernah dimarahi ibuku karena aku mengkritisi sesuatu diluar umurku. Tapi bagi ayahku itu sesuatu yang biasa dan luar biasa. Aku dan kakak laki-lakiku dibelikan tape recorder dengan kaset pita. Kami dibebaskan merekam apapun yang bisa kami ulang-ulang memutarnya. Bayangkan itu saja sudah membuat kami bahagia. Membebaskanku memilih jalanku sendiri bukan berarti aku tidak diurus dan kedua orangtuaku lepas dari tanggung jawab. Kami tetap diikat dengan aturan syar’i. kami dididik dengan nilai-nilai agama dan adat minang yang berlaku. Hanya saja caranya berbeda. Orangtuaku lebih memilih mendidik dengan kelembutan agar anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang menghargai orangtua dan tidak pembangkang. Kami diajarkan mengenal tauhid, kejujuran, saling menghargai, dan kesopanan. Bahkan saat kami melakukan kesalahan kami tidak pernah dijudge habis-habisan. Mereka akan mendengarkan penjelasan dan pembelaan kami. Tidak pernah ada hukuman, kami hanya dinasehati secara baik dan diminta untuk tidak megulanginya.
Tentang tidak adanya paksaan sholat fardhu dan puasa ketika belum baligh. Seingatku sewaktu belum baligh kami tidak pernah dimarahi saat tertidur pulas pada jam-jam shubuh. Kami dibiarkan, bahkan kami ditoleransi untuk tidak berpuasa pada bulan ramadhan asalkan kami mau mengaji ke surau dan menamatkan pendidikan di madrasah. Meskipun demikian tidak lantas membuatku melalaikannya. Karena nilai-nilai agama yang ditanamkan sejak lahir, akhlak dan ibadah yang mereka contohkan yang membuat kami akhirnya tergerak sendiri untuk menunaikan ibadah-ibadah bahkan sampai hari ini.
Secangkit teh hangat dan sedikit gula, kenapa begitu berkesan dalam kisahku. Sejak kecil aku menderita maag. Jika aku terlambat makan, perutku sebelah kiri akan terasa sangat sakit terkadang disertai mual. Saat itu, ayahku membuatkan ku teh dengan sedikit gula, kata beliau itu bisa menghilangkan rasa mual dan itu berarti aku harus meminum teh pahit. Benar saja rasa mual itu hilang. Sejak saat itu, aku sangat menyukai teh hangat dengan sedikit gula bahkan menjadi minuman favoritku, terkadang aku akan menikmatinya tanpa gula. Karena didalamnya ada rindu, cinta, kasih sayang dan kehangatan sosok ayahku sebagai cinta pertama….
Seperti yang aku ceritakan pada tulisan pertamaku. Aku terlahir dari seorang ayah ustad, imam dan garin di masjid, sekarang musholla. Ayahku berbeda dengan ayah-ayah yang lain. Sejak kecil aku terbiasa mengambil keputusan sendiri dan menjadi anak yang kritis. Sampai aku pernah dimarahi ibuku karena aku mengkritisi sesuatu diluar umurku. Tapi bagi ayahku itu sesuatu yang biasa dan luar biasa. Aku dan kakak laki-lakiku dibelikan tape recorder dengan kaset pita. Kami dibebaskan merekam apapun yang bisa kami ulang-ulang memutarnya. Bayangkan itu saja sudah membuat kami bahagia. Membebaskanku memilih jalanku sendiri bukan berarti aku tidak diurus dan kedua orangtuaku lepas dari tanggung jawab. Kami tetap diikat dengan aturan syar’i. kami dididik dengan nilai-nilai agama dan adat minang yang berlaku. Hanya saja caranya berbeda. Orangtuaku lebih memilih mendidik dengan kelembutan agar anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang menghargai orangtua dan tidak pembangkang. Kami diajarkan mengenal tauhid, kejujuran, saling menghargai, dan kesopanan. Bahkan saat kami melakukan kesalahan kami tidak pernah dijudge habis-habisan. Mereka akan mendengarkan penjelasan dan pembelaan kami. Tidak pernah ada hukuman, kami hanya dinasehati secara baik dan diminta untuk tidak megulanginya.
Tentang tidak adanya paksaan sholat fardhu dan puasa ketika belum baligh. Seingatku sewaktu belum baligh kami tidak pernah dimarahi saat tertidur pulas pada jam-jam shubuh. Kami dibiarkan, bahkan kami ditoleransi untuk tidak berpuasa pada bulan ramadhan asalkan kami mau mengaji ke surau dan menamatkan pendidikan di madrasah. Meskipun demikian tidak lantas membuatku melalaikannya. Karena nilai-nilai agama yang ditanamkan sejak lahir, akhlak dan ibadah yang mereka contohkan yang membuat kami akhirnya tergerak sendiri untuk menunaikan ibadah-ibadah bahkan sampai hari ini.
Secangkit teh hangat dan sedikit gula, kenapa begitu berkesan dalam kisahku. Sejak kecil aku menderita maag. Jika aku terlambat makan, perutku sebelah kiri akan terasa sangat sakit terkadang disertai mual. Saat itu, ayahku membuatkan ku teh dengan sedikit gula, kata beliau itu bisa menghilangkan rasa mual dan itu berarti aku harus meminum teh pahit. Benar saja rasa mual itu hilang. Sejak saat itu, aku sangat menyukai teh hangat dengan sedikit gula bahkan menjadi minuman favoritku, terkadang aku akan menikmatinya tanpa gula. Karena didalamnya ada rindu, cinta, kasih sayang dan kehangatan sosok ayahku sebagai cinta pertama….
Komentar
Posting Komentar